Guru BK,
Konselor Apa Polisi Sekolah?
Pelayanan bimbingan dan konseling di Indonesia sudah berjalan cukup lama. Kendati belum bisa dibilang sudah terlalu tua, tetapi ibarat manusia kini ia sudah cukup dewasa. Sejak awal dibicarakan pada tahun 1962, yang kala itu masih bernama bimbingan dan penyuluhan (BP), oleh pemerintah peranannya niscaya dianggap cukup signifikan dalam mendukung proses pembelajaran di sekolah. Oleh karenanya, keberadaan tenaga BK di sekolah disejajarkan dengan guru kelas maupun mata pelajaran. Sehingga guru BK pun masuk kategori tenaga fungsional.
Apreasi yang demikian tinggi oleh pemerintah terhadap profesi konselor dan pembimbing di sekolah memang tidak lepas dari sejarah awal perkembangan layanan tersebut di Indonesia, yakni dengan kegiatan di sekolah dan usaha – usaha pemerintah. Sedang di luar negeri, khususnya Amerika Serikat, diawali oleh usaha perorangan dan pihak swasta, kemudian barulah berangsur-angsur menjadi usaha pemerintah.
Itulah sebabnya tidak bisa disalahkan kala hingga dewasa ini masih sering terjadi salah persepsi akan peran bimbingan dan konseling di sekolah. Jangankan di mata siswa, sesama pendidik (guru) bahkan Kepala sekolah pun, masih banyak yang memposisikan guru BK tidak pada porsi sebenarnya. Dampaknya, peran mereka di sekolah kurang bisa optimal. Banyak siswa yang masih menganggap guru BK tak ubahnya sebagai polisi sekolah. Itu terjadi lantaran kesan yang mereka dapatkan, tugas guru BK hanyalah menghukum siswa yang nakal atau bikin ulah di sekolah. Guru BK adalah penjaga tata tertib di sekolah, ibaratnya mereka itu polisi atau pun satpol PP. Oleh karenanya, mereka pun juga tidak familier dengan BK dan kala dipanggil guru BK, belum-belum mereka sudah bertanya-tanya dalam hati perihal kesalahannya. Rata-rata kesan siswa terhadap guru BK tidak lebih dari itu.
Adanya kesan siswa terhadap guru BK yang demikian itu, tidak lepas pula dari penugasan Kepala sekolah terhadap mereka yang memang tak jauh dari polisi sekolah. Hal ini terjadi, kadang-kadang disebabkan oleh pemahaman kepala sekolah terhadap profesi guru BK sendiri. Semisal akibat latar belakang pendidikan mereka yang bukan dari BK atau factor manajeral dan bisa juga akibat organisasi di sekolah bersangkutan yang memang mengondisikan mereka seperti itu.
Pada umumnya, sesuatu hal yang tumbuh tidak secara alami memang cukup lama untuk bisa dibumbuhi. Demikian halnya dengan perkembangan pelayanan BK yang bisa dibilang awalnya formalistic, hingga hampir setengah abad usianya di Indonesia, masih juga banyak pihak salah persepsi atas perannya. Padahal berbagai pelayanan yang semestinya ditangani guru BK kini tanpa sadar banyak diambil alih perorangan atau pihak swasta. Dan akan hal ini, respon masyarakat ternyata amat positif. Inilah terkadang yang susah dimengerti.
Formalisasi BK
Apabila kita tilik sejarahnya, kemunculan BK yang dulu bernama BP ( bimbingan dan penyuluhan ) dimulai pada tahun 1960-an. Kala itu terjadi perubahan system pendidikan di SMA, yaitu adanya pergantian nama menjadi SMA Gaya Baru dan berubahnya penjurusan yang semula di kelas 1 menjadi kelas 2. Perubahan program penjurusan tersebut menurut Dr. syamsu Yusuf, LN dan Dr. A. Juntika Nurihsan dari UPI (2010) dalam bukunya Landasan Bimbingan dan Konseling, merupakan respon akan kebutuhan untuk menyalurkan para siswa ke jurusan yang tepat bagi dirinya secara perorangan.
Dalam rencana pelajaran SMA Gaya Baru, di antaranya ditegaskan sebagai berikut. (a) di kelas 1 setiap pelajar diberi kesempatan lebih mengenal bakat dan minatnya, dengan jalan mempelajari segala jenis mata pelajaran yang ada di SMA dengan bimbingan dan penyuluhan yang teliti dari guru maupun orangtua; (b) dengan menggunakan peraturan kenaikan kelas dan bahan-bahan catatan dalam kartu pribadi setiap murid, para pelajar disalurkan ke kelas 2 kelompok khusus : budaya, social, pasti dan pengetahuan alam (paspal); (c) untuk kepentingan tersebut, pengisian kartu pribadi murid harus dilaksanakan seteliti-telitinya.
Perumusan dan pencantuman resmi di dalam rencana pelajar SMA ini disusul dengan berbagai kegiatan pengembangan layanan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti rapat kerja, penataran dan lokakarya. Puncak dari usaha ini adalah pembukaan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan (BP) di Fakultas Ilmu Pendidikan pada beberapa IKIP Negeri pada 1963-an.
Menelaah rencana pelajaran SMA Gaya Baru sebagaimana didokumentasikan oleh Rochman Natawidjaja (1971) tersebut, dapatlah kita sebut bahwa hal itu merupakan awal formalisasi pelayanan BP/BK. Selanjutnya, dengan diperkenalkannya gagasan Sekolah Pembangunan pada tahun 1970/1971, peranan bimbingan dan penyuluhan kembali mendapat perhatian. Gagasan sekolah pembangunan ini kemudian dituangkan dalam program Sekolah Menengah Pembangunan (SMPP).
SMPP merupakan proyek percobaan dan peralihan dari sistem persekolahan lama menjadi sekolah pembangunan. Pembentukan SMPP ini tertuang dalam SK Mendikbud nomor 0199/0/1973. Dan, untuk melaksanakan bimbingan dan penyuluhan di SMPP, Badan Pengembangan Pendidikan Depdikbud menyusun program Bimbingan dan Penyuluhan SMPP.
Badan Pengembangan Pendidikan Depdikbud, melalui berbagai lokakarya yang diselenggarakan berhasil menyusun dua naskah penting dalam sejarah perkembangan layanan bimbingan di Indonesia. Kedua naskah tersebut adalah: (a) pola dasar rencana dan pengembangan program bimbingan dan penyuluhan melalui proyek-proyek perintis sekolah pembangunan; (b) pedoman oprasional pelayanan bimbingan pada proyek-proyek perintis sekolah pembangunan.
Menurut Syamsu Yusuf, secara formal bimbingan dan konseling diprogramkan di sekolah sejak diberlakukanya kurikulum 1975. Dalam kurikulum tersebut disebutkan bahwa bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian integral dalam pendidikan di sekolah. Sejalan dengan itu, pada tahun 1975 di Malang berdirilah Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Kehadirannya memberikan pengaruh amat berarti bagi perluasan program bimbingan di sekolah.
Sejarah dengan penyempurnaan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984, dimasukanlah bimbingan karir dalam layanan BP sehingga di sekolah-sekolah sering muncul istilah BK/BP (bimbingan karir/bimbingan penyuluhan). Padahal antara bimbingan karir dan bimbingan penyuluhan tidak identik. Oleh karenanya pemakaian istilah BK/BP tersebut kurang tepat. Untungnya dalam UU nomor 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas, istilah tersebut dibakukan menjadi bimbingan. Bimbingan berdasarkan PP nomor 25 dan 28 tahun 1990 dijelaskan sebagai: “…bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan.”
Sayangnya, dalam pelaksanaan bimbingan kemudian muncul kerancuan sejalan dengan terbitnya SK Menpan nomor 84/1993 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya. Terlebih setelah munculnya SKB antara Mendikbud dan kepala BAKN nomor 0433/P/1993 – nomor 26 tahun 1993 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.
Dalam aturan tersebut standart prestasi kerja guru kelas, di tambah melaksanakan program BK di kelas yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini mengesankan bahwa semua guru dapat diserahi tugas melaksanakan pelayanan BP. Akibatnya pelayanan BP menjadi kabur dalam pemahaman maupun implementasinya.
Untungnya, kenyataan itu secara yuridis formal kini tidak lagi mengalami tumpang tindih. Hal itu sejalan dengan terbitnya UU 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan di ikuti UU Guru dan Dosen, PP tentang Guru dan kulminasinya pada PermenPan & RB nomor 16 tahun 2009 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya yang lantas diikuti peraturan bersama antara Mendiknas dan kepala BKN nomor 03/V/ PB/2010 – nomor 14 ahun 2010. Dimulai dari PeremenPan, antara guru kelas, guru mata pelajaran dan guru bimbingan konseling, sudah terdapat pemilihan yang jelas.
Terkait dengan itu, selayaknya peran guru BK saat ini harus sudah dirasakan betul manfaatnya dalam mendukung kelancaran proses pembelajaran di sekolah. Terlebih keberadaan guru BK yang semula terwadahi dalam Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), sejak 2001 juga telah berubah menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). Melalui berbagai dukungan yang dilakukan pemerintah maupun upaya internal asosiasi, seharusnya profesi tersebut kini sudah mendapat pengakuan dan kepercayaan public. Kenyataannya, sebagaimana dipaparkan di atas, citra negative guru BK masih juga belum hilang. Oleh karenanya, perlu ada langkah-langkah lebih konkrit untuk mengangkat citra guru BK, baik itu dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kemendikbud maupun internal organisasi profesi.
Bimbingan & Layanan BK
Guna memberikan pemahaman yang utuh perihal guru BK alangkah baiknya kita tengok lagi jenis-jenis bimbingan dan layanan yang bisa dilakukan. Menurut Prof. Dr. Suharismi Arikunto (2011) ada empat jenis bimbingan yang bisa dilakukan oleh guru BK, yaitu : (1) bimbingan pribadi; (2) bimbingan social; (3) bimbingan belajar; dan (4) bimbingan karir.
Adapun layanan yang bisa diberikan guru BK, setidaknya ada tujuh macam, yakni: (1) layanan orientasi; (2) layanan informasi; (3) layanan penempatan dan penyaluran; (4) layanan pembelajaran; (5) layanan konseling perorangan; (6) layanan bimbingan kelompok; dan (7) layanan konseling kelompok.
Sedangkan Muro dan Kottman (1995) sebagaimana disitir Syamsu Yusuf, mengemukakan struktur program bimbingan dan konseling komprehensif yang diklasifikasikan ke dalam empat jenis layanan, yaitu: (1) layanan dasar bimbingan; (2) layanan responsive; (3) layanan perencanaan individual; dan (4) dukungan system.
Layanan dasar bimbingan merupakan layanan bantuan bagi peserta didik (siswa) melalui kegiatan-kegiatan kelas atau di luar kelas yang disajikan secara sistematis, dalam rangka membantu siswa mengembangkan potensinya secara optimal. Layanan ini bertujuan membantu semua siswa agar memperoleh perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat dan memperoleh keterampilan dasar hidup.
Sedangkan layanan responsif merupakan layanan bantuan bagi para siswa yang memiliki kebutuhan atau masalah yang memerlukan bantuan yang dirasakan pada saat ini, atau para siswa yang dipandang mengalami hambatan dalam menyelesaikan tugas perkembangannya. Indikator dari kegagalannya itu berupa ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri atau perilaku bermasalah yang bisa disebut malasuai (maladjustment).
Kemudian untuk layanan perencanaan individual dapat diartikan sebagai layanan bantuan kepada semua siswa agar mampu membuat dan melaksanakan perencanaan masa depannya, berdasarkan pemahaman akan kekuatan dan kelemahan dirinya. Melalui layanan ini diharapkan bisa membantu individu membuat dan mengimplementasikan rencana-rencana pendidikan, karir dan social pribadinya. Selain itu juga membantu individu memantau dan memahami pertumbuhan dan perkembangannya sendiri, kemudian merencanakan dan mengimplementasikan rencana-rencananya itu sesuai dengan pemantauan dan pemahamannya tersebut.
Ketiga komponen program tersebut merupakan pemberian layanan BK kepada siswa secara langsung. Sedangkan dukungan system merupakan komponen layanan dan kegiatan menejemen yang secara tidak langsung memberikan bantuan kepada siswa atau memfasilitasi kelancaran perkembangan siswa. Program ini memberikan dukungan kepada guru pembimbing dalam rangka memperlancar penyelenggaraan ketiga program layanan di atas.
Melihat beraneka ragam jenis bimbingan maupun layanan yang bisa dilakukan oleh guru BK tersebut, andai bisa dilaksanakan secara optimal di suatu sekolah niscaya amat besar peran konselor dalam proses pembelajaran. Hanya sayangnya, yang sering kita temukan kala masuk ruang BK, yang menonjol adalah rekapitulasi pelanggaran tata tertib oleh siswa. Padahal guru BK mestinya bukannya ditakuti oleh siswa melainkan justru harus amat dekat, bahkan ia menjadi tumpuhan kala siswa ingin mendapatkan solusi atas persoalan yang dihadapinya. Dengan solusi tersebut, diharapkan aktivitas belajar siswa itu kembali normal dan meraih prestasi yang gemilang.
Berangkat dari sini, memang profesionalitas guru BK menjadi taruhannya untuk bisa menorehkan citra positif di mata public atas profesi yang diembannya. Andai itu bisa dilakukan terjadi sebuah lompatan yang amat jauh atas pendidikan di Indonesia. Dan mengingat arti pentingnya guru BK, maka keberadaan guru tersebut selayaknya sudah harus dimulai pada jenjang PAUD dan Sekolah Dasar. Sebab, justru di jenjang itulah mestinya guru BK bisa melakukan pendampingan atau bimbingan dan konseling agar perkembangan siswa (anak) menjadi optimal. Yang terjadi saat ini, guru BK baru mulai ada di jenjang SMP dan parahnya, peran mereka juga tidak maksimal. Lain halnya sekolah swasta yang paham betul peran guru BK, mereka malahan ada juga yang merektur sarjaan psikologi (anak).
Nah, kini saatnya kita memberdayakan guru BK agar mereka tidak lagi terkurung dalam lingkungan organisasi sekolah yang amat membelenggu profesionalitasnya!!!.
………………………………………………………………………………………………..
Sumber :
MEDIA, Majalah Bulanan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur
Edisi Januari 2012
0 komentar:
Posting Komentar