topbella

Sabtu, 26 Mei 2012


KETENAGAKERJAAN

Kondisi Tenaga Kerja
Kondisi ketenagakerjaan selama 61 tahun Indonesia merdeka masih memprihatinkan. Bahkan 26  tahun terakhir, menorehkan catatan terburuk di mana terjadi ledakan pengangguran dengan  tren angka pengangguran yang terus meningkat.
Demikian rangkuman pendapat dari mantan Menteri Tenaga Kerja Bomer Pasaribu dan Ketua  Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN) Bambang Wirahyoso yang dihubungi "PR" secara  terpisah, Senin malam, berkaitan dengan Hari Kemerdekaan ke-61 RI.
Kondisi yang masih memprihatinkan itu, menurut Bomer, tergambar dari angka statistik  mengenai ketenagakerjaan. "Dengan 11,1 juta pengangguran terbuka dan 40 juta  tergolong setengah pengangguran dan penggangguran terselubung. Saya menyebut ini sebagai  kondisi superkrisis," katanya.
Disebutkan, kondisi tenaga kerja yang dikategorikan pekerja juga sebetulnya tidak bisa  disebut benar-benar bekerja. Karena dari komposisi pekerja, hanya 28% yang bekerja di  sektor formal. Sementara 72% lainnya bekerja di sector informal. Hal tersebut menjelaskan  tren peningkatan pekerja muda yang masih usia sekolah.
"Dari sisi jumlah pengangguran, angka tahun ini hanya kalah buruk oleh angka  pengangguran tahun 1980. Tapi jika dilihat dari banyaknya pekerja sektor informal, malah  lebih buruk dari tahun 1980. Saat itu, hanya 68% yang bekerja disektor informal,"  katanya.
Komposisi pengangguran juga tak kalah mengkhawatirkan. Menurut Bomer, saat ini terjadi  degradasi kalangan terdidik Indonesia, dengan makin meningkatnya jumlah pengangguran dari  kalangan terdidik. Sebanyak 12% pengangguran sekarang, merupakan kalangan terdidik lulusan  S-1.
"Semua kondisi ini membuat angka kemiskinan makin meningkat. Diperkirakan saat ini  33,34% masyarakat Indonesia hidup dalam kemiskinan. Ini data resmi BPS (Badan Pusat  Statistik)," kata Bomer yang juga Direktur Pusat Kajian Tenaga Kerja dan Pembangunan/Center for Labour and Development Studies (CLDS) ini.
Menurut Bomer, dengan ledakan pengangguran dan banyaknya orang miskin seperti saat ini, seharusnya Indonesia memilih mode ekonomi politik yang berbasis bekerja produktif (employment  base economy), yakni mengembangkan berbagai sektor produksi yang bisa menyerap tenaga  kerja sebanyak-banyaknya.
Dikatakan, pola industrialisasi yang dikembangkan negara Cina, dinilai Bomer, cukup  baik untuk ditiru Indonesia. Di sana industri padat karya dikembangkan besar-besaran.  Selain menyerap banyak pengangguran, hasil produksi mereka pun menjadi berlimpah dan bisa  membanjiri dunia.
"Kita bisa juga bercermin pada Argentina. Terkena krisis di tahun 1999, namun  dalam lima tahun sudah menunjukkantren perbaikan. Penganggurannya terus berkurang dan  ekonominya bisa tumbuh 9%. Sementara kita sudah 9 tahun melewati krisis, belum juga mendapatkan tren perbaikan," katanya.

Marginalisasi hukum
Sementara itu, Bambang Wirahyoso menyatakan, selama 61 tahun merdeka, pekerja Indonesia  masih sebagai kalangan yang termarginalkan terutama dalam hal perlakuan hukum. Dalam hal  ini, tenaga kerja Indonesia tak kunjung mendapat perlindungan hukum secara baik.
"Saat ini pemberlakuan hu­kum PPHI (penyelesaian perselisihan hubungan  industrial) belum kelihatan hasilnya. Sementara di lapangan, penegakan hukum  ketenagakerjaan justru semakin lemah. Akibatnya, kalangan pekerja yang posisinya lebih  lemah, yang menjadi korban," katanya.
Dicontohkannya berbagai kasus PKWT (pekerja kontrak waktu terbatas) dan tenaga outsourcing, yang sampai saat ini masih terus berlangsung, tanpa ada penegakan hukum. Dengan dalih tak ada delik aduan (sesuai dengan hukum acara PPHI-red), aparat penegak hukum  ketenagakerajaan membiarkan saja hal tersebut berlangsung.
"Padahal berbagai pelanggaran-pelanggaran normatif, seharusnya secara langsung bisa ditindak oleh penegak hokum ketenagakerjaan. Tak hanya pegawai pengawas Disnakertrans, tapi polisi sebagai koordinator pengawas, bias melakukan itu,"  katanya.
Lalu dicontohkan, perusahaan di Cimahi (PT Korin) yang sekalipun terbukti bersalah  tidak mau membayar upah buruhnya, tak sedikitpun ditindak aparat. Jika buruh-buruhnya  unjuk rasa, gaji baru dibayarkan. Itu sebabnya ribut-ribut terus berlangsung di perusahaan tersebut.
Bambang juga mencontohkan perusahaan besar yang menggelapkan uang iuran Jamsostek dengan cara member laporan upah tidak benar, juga tidak kunjung ditindak. Sekalipun sudah  dua tahun dilaporkan, sampai saat ini belum juga ada penyelesaian. "Ini serbasalah. Jika kalangan pekerja terus menekan, akan dihadapkan pada berbagai ancaman. Mulai  kekerasan, skors, sampai tuduhan kriminal," katanya.

Tenaga Kerja yang Profesional
Data dan informasi ketenaga-kerjaan sangat penting bagi penyusunan kebijakan, stategi dan program ketenagakerjaan dalam rangka pembangunan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan saat ini dan masa datang. Kebijakan, strategi dan program ketenagakerjaan yang baik dan benar sangat ditentukan oleh kondisi data dan informasi ketenagakerjaan yang baik pula. Apabila telah tersusun kebijakan, strategi dan program ketenagakerjaan maka kemungkinan besar masalah ketenagakerjaan akan dapat dipecahkan secara benar pula.
Untuk dapat menyediakan data dan informasi ketenagakerjaan yang akurat dan benar tersebut sangat ditentukan oleh dukungan sistem informasi ketenagakerjaan yang baik dan handal. Sistem informasi ketenagakerjaan yang dimaksud disini menyangkut arus data dan informasi dari sumber data ke tempat pengolahan dan seterusnya ke pengguna data dan informasi ketenagakerjaan khususnya para pengambil dan penyusun kebijakan, strategi dan program ketenagakerjaan. Dalam era otonomi saat ini, masalah arus data dan informasi ketenagakerjaan ini mengalami kemunduran.
Sumber data ketenagakerjaan seperti instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan yang berada di daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota tidak pernah lagi mau mengirim data dan informasi ke pusat .Kondisi ini telah mempengaruhi keberadaan data dan informasi ketenagakerjaan, yang pada akhirnya data dan informasi ketenagakerjaan yang dipergunakan saat ini masih bertumpu pada data dan informasi ketenagakerjaan yang bersifat makro. Data dan informasi ketenagakerjaan makro tersebut, sampai saat ini belum mampu untuk menjawab berbagai tantangan dan masalah ketenaga-kerjaan yang dihadapi. Hal-hal yang bersifat mikro seperti data dan informasi pelatihan, hubungan industrial (perselisihan dan pemogokan kerja) dan penempatan tenaga kerja dalam negeri dan luar negeri serta keselamatan, kecelakaan dan kesehatan kerja, usaha-usaha untuk peningkatan produktivitas kerja dan pengupahan masih belum tersedia dengan baik dan benar.
Memperhatikan permasalahan diatas, maka sudah seharusnya dibangun suatu sistem informasi ketenagakerjaan era baru, dengan tujuan agar data dan informasi ketenagakerjaan yang bersifat mikro tersebut dapat tersedia dengan baik dan benar. Pembangunan sistem informasi ketenagakerjaan seperti itu tidaklah mudah untuk diwujudkan, karena menghadapi berbagai tantangan. Akan tetapi ada pepatah mengatakan “Masih ada jalan ke Roma”,  yang berarti kalau diusahakan dan dipikirkan secara terus menerus maka sistem informasi ketenagakerjaan era baru dapat terbangun yang akhirnya data dan informasi ketenagakerjaan yang akurat dan kontiniu baik yang bersifat makro maupun mikro dapat disediakan dengan baik dan benar.
Ø  Komponen Sistim Informasi Ketenagakerjaan
Sistim informasi ketenagakerjaan merupakan kesatuan komponen yang terdiri atas kelembagaan, sumber daya manusia, perangkat keras, perangkat lunak, subtansi data dan informasi yang terkait satu sama lain dalam satu mekanisme kerja (pengumpulan pendatabasean, pengolahan, analisis, penyajian dan penyebarluasan data dan informasi ketenagakerjaan). Pembangunan sistim informasi ketenagakerjaan tidaklah dapat dilakukan secara instant, tetapi perlu dibangun secara bertahap dan selanjutnya diujicobakan serta disosialisasikan untuk disepakati oleh sumber data, pengelola dan pengguna. Hal ini perlu ditegaskan karena dari pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan lebih mudah dari implementasi dan pemeliharaan. Oleh sebab itu pembangunan sistim informasi ketenagakerjaan perlu direncanakan secara matang, agar dapat terlaksana dan diimplemen-tasikan secara kontiniu oleh pengelola dan lembaga yang terkait dengan sistim informasi ketenaga-kerjaan tersebut.
Pembangunan sistim informasi ketenagakerjaan menyangkut pembangunan berbagai komponen yang telah disebutkan diatas. Komponen tersebut menyangkut;
·         Sumber Daya Manusia .
Pengelola dan Penyaji Data dan Informasi Ketenagakerjaan baik di tempat sumber data dan pengguna harus mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan keahlian mengelola dan menyajikan informasi ketenagakerjaan. Pengelola dan penyaji harus mengetahui data dan informasi ketenagakerjaan baik jenis dan karakteristiknya, karena sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan para pengguna data dan informasi ketenagakerjaan.
Selain pengetahuan akan data dan informasi ketenagakerjaan, seharusnya pengelola dan penyaji data dan informasi ketenagakerjaan mengetahui, memahami dan dapat mengaplikasikan teknologi informasi untuk memproses data dan informasi ketenagakerjaan tersebut.
Pengelola dan penyaji harus kreatif dan inovatif dalam rangka mengumpulkan, mendatabasekan mengolah dan menyajikan serta menyebarluaskan data dan informasi ketenagakerjaan. Apabila pengelola dan penyaji data dan informasi ketenagakerjaan tersebut tidak mempunyai pengetahuan, keahlian dan ketrampilan mustahil data dan informasi ketenagakerjaan tersebut dapat tersedia secara akurat dan berkesinambungan.
Dengan demikian sumber daya manusia yang mengelola dan menyajikan data dan informasi ketenagakerjaan merupakan prioritas yang harus dipersiapkan dalam sistim informasi ketenaga-kerjaan, dengan kata lain tanpa adanya sumber daya manusia yang profesional, maka sistim informasi ketenagakerjaan tersebut tidak akan dapat berjalan dengan baik.
·         ketenagakerjaan
Profesional menunjukkan pada dua hal. Pertama, profesional yang memiliki arti orang yang menyandang suatu profesi, misalnya: dia seorang yang profesional. Yang kedua, profesional memiliki arti penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya. Tenaga kerja profesional adalah tenaga kerja yang melakukan pekerjaannya sesuai dengan profesinya. Dalam bekerja diperlukan keprofesionalan. Untuk meningkatkan keprofesionalitasan tenaga kerja perlu dilakukan program-program:
1.      Program Penciptaan dan Pengembangan Kesempatan Kerja.
Tujuan program ini adalah mengatasi pengangguran dengan sasaran penciptaan dan memperluas  kesempatan kerja dalam berbagai bidang usaha dan menciptakan tenaga kerja mandiri serta tersedianya sistem informasi dan perencanaan tenaga kerja.
2.      Program Peningkatan Kualitas dan Keterampilan Tenaga Kerja
Program ini bertujuan untuk menjembatani para pencari kerja dengan lapangan kerja, meningkatkan keterampilan tenaga kerja sehingga mampu memanfaatkan peluang yang ada dan bersaing dengan tenaga kerja dari luar (regional maupun manca negara). Sasaran kegiatan ini adalah tersedianya tenaga kerja yang berkualitas, produktif dan berdaya saing tinggi.
3.      Program Pengembangan Produktivitas Tenaga Kerja
Program ini bertujuan meningkatkan produktivitas tenaga kerja baik produktivitass sektoral (tingkat perusahaan atau lembaga) maupun produktivitas  regional. Sasaran program ini adalah peningkatan  produktivitas tenaga kerja..
4.      Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Ketenaga Kerjaan.
Tujuan program ini adalah mewujudkan rasa ketenangan bekerja dan  berusaha sehingga tercipta hubungan yang serasi antara pekerja dan pengusaha yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya, sedangkan sasarannya adalah meningkatkan peran kelembagaan tenaga kerja di perusahaan, perbaikan kondisi kerja serta jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.

Tenaga Kerja yang Tidak Profesional
Tenaga kerja yang dianggap tidak profesional adalah tenaga kerja yang dalm melakukan pekerjaannya tidak dilakukan sesuai dengan profesinya, antara lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.   Kualitas dan Keterampilan Tenaga Kerja
Tingkat keterampilan tenaga kerja masih relatif rendah dan sebagian dari tenaga kerja yang tersedia belum sesuai dengan lowongan kerja yang ada. Kerena sebagian besar masyarakat berpendidikan sampai dengan SD. Sehingg kemampuannya kurang untuk mengisi lowongan kerja dan dalam bersaing dengan tenaga kerja yang datang atau mampu bersaing dalam mengisi tambahan tenaga kerja pada era pasar bebas.

2.   Produktivitas Tenaga Kerja.
Khususnya kepada tenaga kerja yang sudah bekerja tidak dilatih dan diukur produktivitasnya sehingga tidak dapat dikembangkan kemampuannya dalam meningkatkan pendapatannya sediri, lembaga/perusahaan tempatnya bekerja dan pada akhirnya tidak dapat meningkatkan produktivitas.


3.   Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Ketenaga Kerjaan.
Tidak adanya jamin ketenangan bekerja dan ketenangan berusaha, sehingga tidak jelas mengenai pengaturan hak dan kewajiban masing-masing fihak melalui syarat kerja dan pelaksanaan norma-norma kerja di perusahaan serta hak-hak berserikat.

Langkah Pemecahan masalah
1.  Penugasan/pengerahan Tenaga Kerja Mandiri Profesional (TKPMP) dan penugasan tenaga Kerja Muda Terdidik (TKMT).
- Penerapan dan penyebarluasan Teknologi Tepat Guna (TTG) dan Teknologi Padat Karya (TPK).
- Penempatan Tenaga Kerja melalui mekanisme Antar Kerja Lokal (AKL) ke perusahaan-perusahaan.
- Memperketat kedatangan Tenaga Kerja Antar Kerja Antar Daerah (AKAD), untuk memberi kesempatan kerja yang lebih luas kepada penganggur Kalimantan Tengah.
2..Melaksanakan pembinaan terhadap peningkatan kwalitas pelatihan keterampilan tenaga kerja.
-     Pemagangan
3.   Melaksanakan Pelatihan Manajemen Produktivitas.
4.   Peningkatan penyuluhan terhadap efektivitas syarat kerja  dan pelaksanaan  norma kerjadi perusahaan.
5.   Menjajaki kemungkinan pembentukan forum komunikasi untuk dapat memonitor lowongan pekerjaan yang ada pada instansi Pemerintah di Kalimantan Tengah.



KETENAGAKERJAAN DALAM MENGHADAPI
PASAR GLOBAL

Menjadi Guru yang Baik atau Tidak Sama Sekali
Memasuki abad ke 21 kita menghadapi perubahan-perubahan besar dan amat fundamental dilingkungan global. Perubahan lingkungan strategis pada tataran global tersebut tercermin pada pembentukan forum-forum seperti GATT, WTO, dan APEC, NAFTA dan AFTA, IMG-GT, IMS-GT, BIMP-EAGA, dan SOSEKMALINDO yang merupakan usaha untuk menyongsong perdagangan bebas dimana pasti akan berlangsung tingkat persaingan yang amat ketat. Suatu perubahan regulasi yang semula monopoli (monopoly) menjadi persaingan bebas (free competition). Demikian pula, terjadi pada pasar yang pada awalnya berorientasi pada produk (product oriented) beralih pada orientasi pasar (market driven), serta dari proteksi (protection) berpindah menjadi pasar bebas (free market ).

Tantangan Guru di Era Global
Kemajuan ekonomi diberbagai negara, sangat terkait dengan kualitas Sumber Daya Manusia. Contohnya Singapura dan Jepang. Walaupun sumber daya alam yang dimilikinya terbatas, tetapi karena kualitas sumber daya manusianya unggul, kedua negara tersebut menjadi pemimpin ekonomi di kawasan Asia. Untuk itu perlu mengantisipasi keadaan ini dengan memperkuat kemampuan bersaing diberbagai bidang dengan pengembangan Sumber Daya Manusia. Sayangnya SDM kita saat ini memprihatinkan, menurut UNDP. Indonesia menempati peringkat 109 dari 174, peringkat daya saing ke 46 yang paling bawah di kawasan Asia Tenggara, Singapura ke-2, Malaysia ke-27. Phillipina ke 32, dan Tailand ke34, dan termasuk negara yang paling korup didunia.
Dalam upaya peningkatan SDM, peranan pendidikan cukup menonjol. Dari pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa dalam menuju perubahan struktural, dengan meningkatnya pembangunan ekonomi telah terjadi proporsi tenaga kerja di bawah pendidikan dasar yang semakin mengecil, sedangkan proporsi tengan kerja berpendidikan menengah dan tinggi semakin meningkat. Berbeda dengan negara lain yang mengalami tinggal landas, proporsi yang berpendidikan dasar dan menengah di Korea pada pertengahan tahun 70-an cukup besar yaitu 19 persen tidak berpendidikan, 43 persen berpendidikan dasar, 31 persen berpendidikan menengah dan 7 persen berpendidikan tinggi (Macharany, 1990). Selanjutnya, Yudo Swasono dan Boediono (Macharany, 1990) mengungkapkan bahwa struktur tenaga kerja Indonesia pada tahun 1985 adalah 53 persen tidak berpendidikan, 34 persen berpendidikan dasar, 11 persen berpendidiian menengah dan 2 persen berpendidikan tinggi. Bila kita ingin mencapai tinggal landas seperti Korea, diperkirakan struktur tenaga kerja menurut pendidikan dalam tiga skenario pertumbuhan GDP per kapita, yaitu rendah 6 persen, sedang 7 persen, dan tinggi 8 persen pada tahun 2019.
Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk mengembangkan SDM adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based management) dimana sekolah diberikan kewenangan untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education) di mana terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning center; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. Selain itu pada pemerintah telah mengumumkan suatu gerakan nasional untuk peningkatan mutu pendidikan, sekaligus menghantar perluasan pendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat (Depdiknas, 2000).

Menjadi Guru Yang Profesional
Apa yang diharapkan dari seorang guru untuk menghadapi tantangan era global, dalam merealisasikan program pemerintah dalam bidang pendidikan? Jawabannya hanya sederhana: Menjadi guru yang baik, atau tidak sama sekali. Tidak ada diantara kita yang dipaksa menjadi guru yang ada hanya terpaksa menjadi guru dan secara sukarela menjadi guru. Apapun itu yang penting untuk menjadi guru maka tugas mulia ini mesti dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian. Guru yang baik diharapkan untuk menjadikan dirinya secara profesional, dan untuk mendapatkan guru yang profesional merupakan suatu keharusan.
Moh Uzer Usman (2000) mengemukakan tiga tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih.
(1) mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup,
(2) mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
(3) melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.
DG Amstrong mengemukakan ada lima tugas dan tanggung jawab pengajar, yakni tanggung jawab dalam
(1) pengajaran,
(2) bimbingan belajar,
(3) pengembangan kurikulum,
(4) pengembangan profesinya, dan
(5) pembinaan kerjasama dengan masyarakat.

Untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab diatas, seorang guru dituntut memiliki beberapa kemampuan dan keterampilan tertentu. Kemampuan dan keterampilan tersebut sebagai bagian dari kompetensi profesionalisme guru. Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang mutlak dimiliki oleh guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan baik.
Glasser dalam Nana Sudjana (1988) mengemukakan empat jenis kompetensi tenaga pengajar, yakni:
(a) mempunyai pengetahuan belajar dan tingkah laku manusia,
(b) menguasai bidang ilmu yang dibinanya,
(c) memiliki sikap yang tepat tentang dirinya sendiri dan teman sejawat serta    bidang ilmunya,
(d) keterampilan mengajar.



Upaya Meningkatkan Citra Guru:
Untuk meningkatkan mutu pendidikan secara formal aspek guru mempunyai peranan penting dalam mewujudkannya, disamping aspek lainnya seperti sarana/prasarana, kurikulum, siswa, manajemen, dan pengadaan buku. Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan, sebab inti dari kegiatan pendidikan adalah belajar mengajar yang memerlukan peran dari guru di dalamnya.
Berdasarkan hasil studi di negara-negara berkembang, guru memberikan sumbangan dalam prestasi belajar siswa (36%), selanjutnya manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%). Aspek yang berkaitan dengan guru adalah menyangkut citra/mutu guru dan kesejahteraan (Indra Djati Sidi, 2000)
Citra/mutu guru saat ini sering didengung-dengungkan dan dibicarakan orang baik yang pro dan kontra dan semakin lama citra guru semakin terpuruk. Masyarakat sering mengeluh dan menuding guru tidak mampu mengajar manakala putra-putrinya memperoleh nilai rendah, rangkingnya merosot, atau NEM-nya anjlok. Akhirnya sebagian orang tua mengikut sertakan putra/putrinya untuk kursus, privat atau bimbingan belajar. Pihak dunia kerja ikut memprotes guru karena kualitas lulusan yang diterimanya tidak sesuai keinginan dunia kerja. Belum lagi mengenai kenakalan dan dekadensi moral para pelajar yang belakangan semakin marak saja, hal ini sering dipersepsikan bahwa guru gagal dalam mendidik anak bangsa.
Rendahnya mutu guru menurut J. Sudarminta (2000) antara lain tampak dari gejala-gejala berikut :
(1) lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan;
(2) ketidaksesuaian antara bidang studi yang dipelajari guru dan yang dalam kenyataan lapangan yang diajarkan;
(3) kurang efektifnya cara pengajaran;
(4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid;
(5) lemahnya motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguh-sungguh; semakin banyak yang kebetulan menjadi guru dan tidak betul-betul menjadi guru;
(6) kurangnya kematangan emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap dalam cukup banyak guru sehingga dari kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik; kebanyakan guru dalam hubungan dengan murid masih hanya berfungsi sebagai pengajar dan belum sebagai pendidik;
(7) relatif rendahnya tingkat intelektual para mahasiswa calon guru yang masuk LPTK (Lembaga Pengadaan Tenaga Kependidikan) dibandingkan dengan yang masuk Universitas.

Sementara itu Nana Sudjana (2000) menjelaskan rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh faktor berikut :
(1) adanya pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan;
(2) kekurangan guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru;
(3) banyak guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesinya itu. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya, sehingga wibawa guru semakin merosot.

Sedang Muhibbin Syah (2000) menyorot rendahnya tingkat kompetensi profesionalisme guru. Penguasaan guru terhadap materi dan metode pengajaran masih berada di bawah standar.
Oleh karena itu usaha untuk meningkatkan mutu/citra guru salah satu komponen yang berperan adalah meningkatkan profesional guru yang bercirikan : menguasai tugas, peran dan kompetensinya, mempunyai komitmen yang tinggi terhadap profesinya, dan menganut paradigma belajar bukan saja di kelas tetapi juga bagi dirinya sendiri melakukan pendidikan berkelanjutan sepanjang masa.
Di dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat telah dikembangakan konsep Next Century School (NCS) sebagai berikut :
(i) guru sebagai pelatih yang mendorong siswanya untuk mau meningkatkan prestasinya, guru tidak selalu lebih pintar dari siswa. Guru bersama-sama siswa berupaya keras untuk meningkatkan prestasi siswa. Mereka merupakan team work yang padu,
(ii) Sebagai konselor, sebagai sahabat siswa yang menjadi tempat mendiskusikan berbagai masalah kehidupan, bersama-sama mencari solusi. Guru dapat menjadi teladan atau idola siswa;
(iii) guru menjadi manajer belajar, artinya bersama-sama dengan siswa mencari pengaturan yang optimal untuk mengelola waktu belajar. Dengan singkat dapat disampaikan bahwa hubungan antara guru dengan siswa tidak dibatasi oleh ruang kelas, di pasar, dilapangan, di perpustakaan, di tempat rekreasi dan lain-lain. Hal inilah yang akan menciptakan suasana yang kondusif yang didasarkan hubungan harmonis antara guru dengan siswa (Indra Djati Sidi, 2000).
Dengan demikian proses penuingkatan mutu guru ditekankan pada proses berkelanjutan melalui pemberdayaan diri sendiri.
Sejalan dengan kehidupan yang serba materialisme dan konsumerisme yang membudaya dikalangan kita maka berdampak pula terhadap citra guru. Guru yang penghasilannya pas-pasan membuat masyarakat kurang menghargai profesinya. Guru terpaksa harus mencari penghasilan tambahan seperti mengojek, menghonor di sekolah lain, memberi les/privat dan lain-lain yang menyebabkan guru kurang persiapan dalam mengajar dan mengajar apa adanya. Turunnya semangat guru tidak terlepas dari kesejahteraan saat ini. Misalnya kasus manipulasi NEM oleh oknum guru di beberapa daerah, hanyalah untuk mendapatkan imbalan yang tidak seberapa besarnya.

Penutup
Guru yang profesional tidak hanya tahu akan tugas, peranan dan kompetensinya namun juga dapat melaksanakan apa-apa yang menjadi tugas dan peranannya, dan selalu meningkatkan kompetensinya agar tercapai kondisi proses belajar mengajar yang efektif dan tercapai tujuan belajar secara optimal. Guru yang profesional selalu belajar dan belajar untuk mengembangkan profesinya.
Sebagai guru yang baik dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah maka seharusnya tidak usah berkeluh kesah, dan menurunkan semangat kerja. Sebagai orang-orang yang berpendidikan seharusnya guru dapat mengatasi persoalan ekonomi baik secara individual maupun secara kooperatif. Guru membekali dirinya dengan kemampuan untuk berwirausaha. Kita syah-syah saja mencari penghasilan tambahan, sebagaimana dokter yang penghasilannya lebih besar dari guru, masih ngobyek untuk menambahi penghasilannya, asal tidak meninggalkan kewajiban utamanya sebagai pendidik. Guru tidak boleh mengorbankan pelajar karena sedang ada bisnis. Kewajiban utama tetap dikedepankan, baru sisa waktu (waktu luang) untuk kerja sambilan. Sebab jika guru terlalu berorientasi pada upaya penumpukan materi (kekayaan) dikhawatirkan akan melalaikan fungsi guru sebagai pendidik.
Kekhawatiran akan fungsi guru bukan lagi pendidik telah terbukti, akhir-akhir ini jumlah tenaga guru semakin sedikit, sebaliknya jumlah pengajar terus membengkak. Menurut Menteri Pendidikan Nasional dalam sambutan pelantikan rektor Universitas Surabaya (Unesa) di Surabaya mengatakan: Indonesia saat ini minus tenaga guru, yang banyak adalah tenaga pengajar. Dia bekerja per jam, dan setiap jam minta bayaran .Guru, menurut Malik Fadjar, lebih dari sekedar pengajar. Guru merupakan pusat teladan dan panutan. Guru punya pengaruh terhadap siswanya (Republika, 2002). Jika demikian apakah ada jaminan jika kesejahteraan guru ditingkatkan maka mutu guru menjadi baik ?
Secara sendiri-sendiri guru diharapkan mempunyai pola hidup sederhana dan menggali bakat dan kemampuan yang bisa digunakan membuka usaha kecil/ usaha sampingan seperti membuka warung di rumah, menulis buku, memberikan les/kursus, membuka reparasi elektronik, membuka wartel/warnet dan lain sebagainya. Secara bersama-sama guru dapat :
(1) mengembangkan koperasi guru dan karyawan. Koperasi saat ini dan sampai kapanpun masih relevan membantu perekonomian masyarakat kecil termasuk guru;
(2) mengembangkan unit produksi (unit usaha ) sekolah sebagaimana dikembangkan seperti kantin sekolah. Banyak usaha yang bisa digarap dan diusahakan dengan menggunakan fasilitas sekolah seoptimal mungkin. Asal dikelola dengan baik dan profesional, maka keuntungan unit produksi (unit usaha) sekolah akan membantu perekonomian guru;
(3) meningkatkan peran masyarakat dan pemerintah kota/daerah dalam pembiayaan pendidikan baik melalui Komite Sekolah, alumni, dunia usaha dan pihak lain yang perduli dengan pendidikan dimana sebagian alokasi dana diperuntukkan bagi kesejahteraan guru.


Perubahan Paradigma untuk Pengembangan Karir
Dewasa ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat dan hal tersebut berakibat mening–katnya tuntutan pasar kerja global, maka Indonesia menghadapi tantangan untuk menyediakan tenaga kerja yang kompeten, profesional dan produktif untuk menghadapi tantangan tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan kerja dan pengembangan di tempat kerja.
Dalam penyelenggaraan pelatihan kerja diperlukan tersedianya Sumber Daya pelatihan yang meliputi program pelatihan, Instruktur, Fasilitas, Sistem, Metode serta pembiayaan dari lima unsur tersebut Ins–truktur mempunyai peran yang sangat menentukan dalam keberhasilan suatu pelatihan.
Namun kondisi instruktur saat ini sebagian besar belum menjalankan fungsinya secara profesional dengan memiliki sertifikat kompetensi , hal ini disebabkan mekanisme untuk mencapainya masih belum jelas dan dimiliki instruktur secara benar. Dalam dunia industry tuntutan kompetensi pada seseorang harus mempunyai kemampuan , Pengembangan, Sistem Industri, Pengembangan dan validasi desain produk/jasa baru, Produk/jasa dan verivikasi tindakan perbaikan.
Profesi seorang instruktur merupakan tuntutan yang tidak boleh dihindari, karena keberadaan lembaga pelatihan yang mempunyai standart kompetensi keterampilan Instruktur merupakan jaminan kualitas keterampilan yang dihasilkan pada siswanya, dan harus mampu mempunyai daya saing tinggi dalam proses pelatihan yang selama ini mengacu pada program konvensional yang belum biasa memenuhi kebutuhan industri. Adapun perbedaan pelatihan konvensional dengan CBT (Competency Based Training), sbb :
PELATIHAN KONVENSIONAL
* Orientasi pada kurikulum
* Fokus pada materi & Jam Pelatihan
* Pendekatan Belajar Kelompok
* Penilaian ditekankan penguasaaan mata pelajaran pada akhir pelatihan
* Hasil penilaian berupa nilai-nilai
 
CBT (Competency Based Training)
* Orientasi Pada Standart Kompetensi
* Fokus Pada Penguasaan Kompetensi
* Pendekatan Belajar Individu
* Penilaian Ditekankan Pada Penguasaan Kompetensi Selama Proses Pelatihan
* Hasil Penilaian Kompeten atau Belum Kompeten
Manajemen lembaga pelatihan kerja mempunyai peranan penting bagi instruktur untuk pengembangan menuju professional, maka lembaga pelatihan tersebut harus mempunyai Standart Diklat antara lain :Standart Kelulusan, Isi (Kurikulum/Silabus/Modul), proses (Methode), Asesment (Penilaian), Pengajar/Pelatih, Fasilitas dan Sarana, Manajemen dan Biaya. Instruktur sebagai pelaksana proses penciptaan tenaga kerja yang kompeten dan profesional maka harus banyak memahami kondisi tenaga kerja saat ini bahwa tenaga kerja kita memiliki daya saing yang sangat rendah dan ini disebabkan karena tidak dimilikinya kompetensi yang diinginkan oleh pengguna tenaga kerja (dunia usaha).
Sebagaimana kebijakan yang tertuang dalam Prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2010–2014  mengenai Peningkatan Kualitas dan Kompetensi Tenaga Kerja maka Instruktur diharapkan mampu ber–benah diri dengan menambah ilmu penge–tahuan maupun keahlian dan keterampilan sesuai dengan bidang masing-masing sehingga Instruktur dapat meningkatkan profesionalismenya dan dapat membantu pencapaian program-program penciptaan tenaga kerja yang berkualitas dan kompenten.
Dengan terciptanya tenaga kerja yang berkualitas dan kompeten maka diharapkan tidak hanya dapat terpenuhinya kesesuaian kompetensi yang dimiliki tenaga kerja dengan kebutuhan pengguna tetapi juga dapat memenuhi harapan pengguna dalam menekan biaya pelatihan diperusahaannya.
Standar Kompetensi telah ditetapkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Trans–migrasi Republik Indonesia sebagaimana disampaikan pada berbagai kesempatan oleh Menakertrans RI bahwa Indonesia memiliki 120 jenis kompetensi tenaga kerja dan standart kerja yang harus dipenuhi oleh setiap pekerja baik disektor formal maupun informal.
Dalam rangka pengembangan kompetensi tenaga kerja dibutuhkan selain standar kompetensi yang jelas, lembaga sertifikasi kompetensi profesi yang mempunyai kapasitas dan kredibilitas tetapi juga dibu–tuhkan lembaga pelatihan yang mempunyai visi dan misi yang seiring dengan arah kebijakan ketenagakerjaan nasional dimana ditunjang oleh adanya Instruktur yang kompeten, sarana dan prasarana yang memadai, metode pengajaran yang jelas serta manajemen pengelolaan baik.
Lembaga pelatihan pemerintah (UPT Pelatihan Kerja) merupakan penggerak terdepan didalam menjalankan program-program kegiatan pelatihan untuk melatih tenaga kerja yang kompeten dan produktif sehingga mampu mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.  Pengembangan kompetensi merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas tenaga kerja dan lembaga pelatihan harus menjadi penguat kompetensi  dan pengembangan produk–tivitas tenaga kerja. Lembaga Pelatihan yang ada mau tidak mau harus bersinergi dengan Lembaga Pendidikan dalam rangka link and match untuk mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi yang disesuaikan de–ngan kebutuhan dunia usaha dan pasar kerja. Selama ini banyak kesempatan atau lo–wongan kerja yang tersedia tidak dapat diisi oleh lulusan pendidikan dan pencari kerja dan ini dikarenakan ketidaksesuaian kompetensi dan keahlian angkatan kerja dengan pasar kerja, untuk mengetahui alur pikir pengem–bangan SDM Berbasis Kompetensi dapat dilihat skema pada gambar di samping.       
Dengan berperannya Instruktur latihan kerja dalam menentukan eksistensi UPT Pelatihan Kerja yang mempunyai program-program pelatihan mengacu kepada Standart Kompetensi Kerja Nasional maka keberadaan UPT-PK dapat berperan untuk menghasilkan Tenaga Kerja terampil dan kompeten baik untuk penempatan di dalam Negeri maupun luar Negeri, sehingga peranan Instruktur Pelatihan Kerja sangat penting untuk menentukan program-program pela–tihan berbasis kompetensi.
SDM sering kali terlibat pada proses produksi jasa. Manajemen SDM harus disertakan pada saat merancang proses tersebut. Pemecahan masalah harus melibatkan semua karyawan, tidak hanya manajer, karena sering kali membutuhkan perubahan pada budaya perusahaan, gaya kepemimpinan dan kebijakan SDM.
Untuk mencapai sasaran tersebut, manajemen SDM haruslah terdiri dari aktivitas-aktivitas yang saling berkaitan. Aktivitas SDM adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan dan Analisis SDM
Aktivitas perencanaan ini dilakukan untuk mengantisipasi kekuatan yang akan mempengaruhi pasokan dan permintaan akan tenaga kerja. Sedangkan, aktivitas analisis dan penilaian selektivitas SDM juga penting dilakukan sebagai bagian dari menjaga daya saing organisasi. Dukungan informasi akurat dan tepat waktu yang didapatkan dari Sistem Informasi Sumber Daya Manusia (SISDM) sangat dibutuhkan untuk menunjang aktivitas ini.

2. Kesetaraan Kesempatan Bekerja
Kepatuhan pda hukum dan peraturan Kesetaraan Kesempatan Bekerja (Equal Employment Opportunity - EEO) mempengaruhi aktifitas SDM lainnya dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen SDM. Contohnya, perencanaan SDM harus memastikan sumber tenaga kerja yang bervariasi untuk memenuhi jumlah tenaga kerja yang ditetapkan oleh hukum dan peraturan. Selain itu, pada saat perekrutan, seleksi dan pelatihan, semua manajer harys mengerti peraturan ini.


3. Perekrutan/Staffing
Sasaran perekrutan adalah untuk menyediakan pasokan tenaga kerja yang cukup untuk memenuhi kebutuhan organisasi. Dengan mengerti apa yang dilakukan oleh tenaga kerja, analisis perkerjaan (job analysis) adalah dasar dari fungsi perekrutan. Dari sini, uraian pekerjaan (job description) dan spesifikasi pekerjaan (job spesification), dapat dipersiapkan untuk proses perekrutan. Proses seleksi sangatlak menekankan pada pemilihan orang yang memenuhi kriteria persyaratan (qualified) untuk mengisi lowongan pekerjaan.

4. Pengembangan SDM
Pekerjaan pasti akan berevolusi dan berubah, karena itu diperlukan pelatihan yang berkesinambungan untuk tanggap pada perubahan teknologi. Pengembangan semua tenaga kerja, termasuk pengawas (supervisor) dan manajer, diperlukan iuntuk menyiapkan organisasi menghadap tantangan ke depan. Perencanaan Karir (Career Planning) mengidentifikasi jalur dan aktivitas setiap individu yang berkembang di suatu organisasi.

5. Kompensasi dan Keuntungan
Kompensasi diberikan pada tenaga kerja yang melakukan kerja organisasi seperti pembayaran (pay), insentif (incentive), dan keuntungan (benefits). Perusahaan harus mengembangkan dan selalu memperbaiki sistem upah dan gaji. Program insentif seperti pembagian keuntungan dan penghargaan atas produktivitas semakin banyak dilakukan. Peningkatan biaya pada keuntungan, contohnya pada keuntungan pemeliharaan kesehatan, selalu menjadi isu penting.

6. Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan Kerja
Kesehatan dan keselamatan fisik serta mental tenaga kerja adalah hal yang utama. Occupational Safety and Health Act (OSHA) atau Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja telah membuat organisasi lebih tanggap atas isu kesehatan dan keselamatan. Pertimbangan tradisional atas keselamatan kerja terfokus pada mengurangi atau menghapuskan kecelakaan kerja. Pertimbangan lain adalah pada isu kesehatan yang timbul pada lingkungan kerja yang berbahaya seperti resiko terkena bahan kimia atau teknologi baru. Keamanan tempat kerja juga semakin penting karena kekerasasn tidak jarang terjadi di sini.

7. Hubungan Tenaga Kerja dan Buruh / Manajemen
Hak-hak tenaga kerja harus diperhatikan, tidak peduli apakah ada atau tidak ada serikat tenaga kerja. Komunikasi dan pembaharuan kebijakan dan peraturan SDM sangat penting untuk dikembangkan sehingga manajer dan tenaga kerja tahu apa yang diharapkan dari mereka.


 ....................................................................................................................................................................
TUGAS :
KEWIRAUSAHAAN SEMESTER 3
























0 komentar:

Posting Komentar

 
hawinda© Designed by: Compartidisimo